Hits

Footer Left Content

Maket Kantor Pusat CU SJ

Gedung yang representatif merupakan buah karya pengurus bersama seluruh anggota. Gedung yang megah dan kokoh ini adalah milik bersama, karena dibangun dengan kekuatan bersama.

Pertemuan CU se Indonesia di Bali

General Manager CU Semandang Jaya, Blasius Hendi Chandra (kanan) saat mengikuti pertemuan CU seluruh Indonesia di Bali, Mei 2011.

Pelayanan yang Ramah dan Terbuka

CU Semandang Jaya menempatkan aspek pelayanan sebagai pilar utama dalam berkarya. Para anggota akan mendapatkan sambutan yang hangat, serta penjelasan yang terbuka dari para pengurus maupun aktivis CU.

Jumat, 24 Juni 2011

PM Sitanggang: Cerita Sukses Credit Union

PM Sitanggang. Foto: KOMPAS/KHAERUDIN
KOMPAS.com — Jalan hidup Pintaraja Marianus Sitanggang berubah sepulang mengikuti seminar perburuhan di Baguio City, Filipina, tahun 1970. Sitanggang yang saat itu menjadi guru SMA Katolik Budi Mulia, Pematang Siantar, Sumatera Utara, berada di Filipina karena ditugaskan Pengurus Pusat Persatuan Guru Katolik.

Salah satu materi seminar perburuhan itu tentang credit union (CU), yang di Indonesia diterjemahkan secara bebas sebagai koperasi kredit. Sepulang dari Filipina, Sitanggang tergerak mendirikan CU di sekolahnya.

Ia mengajak guru dan karyawan SMA Budi Mulia. Namun, kondisi ekonomi saat itu belum pulih setelah lonjakan inflasi pada akhir pemerintahan Presiden Soekarno. Ini membuat tak banyak orang tertarik pada ide koperasi simpan pinjam itu.

Sitanggang tak kehilangan akal. Sebagai ketua yayasan, ia lalu memotong sebagian gaji guru dan karyawan sebagai simpanan saham. Simpanan saham dalam Undang-Undang Koperasi dikenal dengan istilah simpanan wajib anggota.

Ia juga mengajak guru dan karyawan SMA Cinta Rakyat bergabung agar permodalan CU semakin kuat. Pada tahun 1973 terbentuklah CU Cinta Mulia.

Pada awal tahun 1970 pula, Pengembangan Sosial Ekonomi Keuskupan Agung Medan mengadakan kursus dasar pembentukan CU. Mendengar di Pematang Siantar sudah ada CU yang didirikan Sitanggang, Keuskupan Agung Medan membentuk tim untuk menyosialisasikan ide pendirian CU ke beberapa daerah lain di Sumut.

”Waktu itu lembaga keuangan, apalagi koperasi, hampir tak dipercaya masyarakat. Di sisi lain, masyarakat miskin di desa-desa tak mengenal konsep menabung karena untuk makan saja sulit,” ujarnya.

Tantangan membentuk permodalan bersama bagi rakyat miskin di pedesaan tak menyurutkan semangat Sitanggang. Ia tak ragu mendatangi kedai tuak, mengunjungi rumah warga di pelosok Sumut, hanya untuk memberi pemahaman bahwa semiskin-miskinnya orang masih ada yang bisa mereka sumbangkan.

Dengan berkantor di gereja selama 10 tahun pertama, CU mulai dilirik masyarakat. ”Wibawa gereja membuat masyarakat percaya kepada CU,” katanya.

Namun, awal tahun 1980 gereja menarik diri dari pengembangan CU. ”Secara perlahan gereja mundur karena memang bukan tugasnya,” ujar Sitanggang.

Hikmahnya, CU menjadi semakin inklusif. CU menjadi lembaga keuangan yang tak hanya dimiliki jemaat gereja Katolik, tetapi juga mereka yang beragama lain.

Mulai bermunculan

Setelah Pematang Siantar, CU kemudian berdiri juga di Pakkat dan Dolok Sanggul, Kabupaten Humbang Hasundutan, Siborongborong, Tapanuli Utara, Aek Kanopan, Labuhan Batu Utara, Tebing Tinggi, serta Barus dan Manduamas, Tapanuli Tengah.

Bermunculannya CU ini lalu menumbuhkan Badan Pengembangan Daerah Koperasi Kredit Sumut yang menjadi cikal bakal koperasi sekunder (pusat koperasi di tingkat provinsi), Badan Koordinasi Koperasi Kredit Daerah (BK3D). Penyesuaian nama sejalan dengan Undang-Undang Koperasi, membuat BK3D diubah menjadi Pusat Koperasi Kredit (Puskopdit), dan Sitanggang menjadi ketuanya hingga kini.

Ia juga menjaga filosofi koperasi sebagai lembaga keuangan yang didirikan secara bersama untuk mengubah nasib anggotanya. Ia memegang teguh prinsip; koperasi dibentuk karena ada sekelompok orang yang merasa senasib dan menyadari bersama nasib mereka harus diperbaiki.

”Kebersamaan di CU diwujudkan dengan menyimpan dan memberikan pinjaman kepada anggota yang paling memerlukan,” ujar Sitanggang yang juga bercerita bahwa hingga akhir tahun 1970 CU tak boleh menggunakan nama koperasi.

”Ini karena koperasi di desa, menurut pemerintah, hanya satu, yakni KUD (koperasi unit desa). CU terpaksa bergerak sembunyi-sembunyi karena kalau ketahuan pemerintah saat itu kami dipaksa masuk KUD. Padahal, banyak KUD mengingkari prinsip koperasi. Pengurusnya ditunjuk pejabat di daerah di mana KUD berada, bukan berdasarkan kemauan anggota,” katanya.

Selain itu, ia juga harus berusaha menyadarkan warga miskin di pedesaan agar menyisihkan sebagian uang mereka sebagai simpanan saham anggota CU. Pada awal pendirian, simpanan saham anggota CU Rp 200 per bulan. Kini, simpanan saham Rp 10.000-Rp 50.000. ”Simpanan saham ini menjadi tanda andil anggota sebagai pemilik CU,” ujarnya.

Daya tarik

Sebagai koperasi simpan pinjam, daya tarik CU adalah penyaluran kredit atau pinjaman kepada anggota. Guna menghimpun modal, CU juga memiliki berbagai produk simpanan nonsaham, seperti simpanan bunga harian (sibuhar) yang mirip tabanas, simpanan pendidikan (mirip tabungan berencana), dan simpanan sukarela berjangka (mirip deposito).

Sebagai lembaga pembiayaan, saingan CU adalah bank. Jadilah persaingan itu berkaitan dengan penentuan suku bunga. Jika suku bunga simpanan bank di bawah 9 persen, CU menetapkan di atasnya, yaitu 9-15 persen. Jika suku bunga pinjaman bank dihitung berdasarkan total pinjaman, suku bunga pinjaman CU berlaku menurun, dihitung dari sisa pokok pinjaman dengan besaran bunga 2,5 persen. ”Di desa yang CU-nya besar, bank umumnya enggak laku.”

”Tetapi, kami juga harus menjaga ’penyakit’ anggota CU, yang biasa disebut lapar kredit. Saya selalu ingatkan filosofi CU yang utama adalah keswadayaan. Kredit diberikan kepada mereka yang paling membutuhkan di antara anggota. Makanya, CU menetapkan beberapa aturan agar seseorang bisa mendapatkan kredit, salah satunya hadir rutin dalam pertemuan kelompok, prestasinya dalam menabung, dan tak bermasalah dalam pembayaran pinjaman,” katanya.

Sebagai koperasi yang sejak awal ingin memberdayakan warga miskin, terutama di pedesaan yang warganya mayoritas petani, CU menjadi penolong. ”Kami bisa memberikan pinjaman bagi anggota yang mengalami gagal panen. Kalau mereka tak diberikan stimulus pinjaman baru, justru nantinya bakal menjadi kredit macet di CU,” katanya.

Kerja keras Sitanggang selama 40 tahun berbuah manis. Berawal sebuah koperasi yang dibentuk dari dua SMA di Pematang Siantar, kini ada 61 CU di bawah Puskopdit BK3D Sumut. Total aset CU di bawah Puskopdit BK3D ini, per November 2010, mencapai Rp 1 triliun. Uang tersebut semuanya berasal dari simpanan saham anggota CU yang jumlahnya lebih dari 250.000 anggota.

Sumber: Kompas (dot) com di link ini.

Senin, 20 Juni 2011

Memanggul laba dari tas outdoor bikinan sendiri

Di tengah persaingan yang ketat, produk tas kegiatan outdoor lokal mulai mendapat angin di negeri sendiri. Dengan kualitas yang setara tas impor, banyak orang yang memilih tas bikinan lokal ketimbang tas impor. Apalagi, harga tas bikinan pengusaha lokal lebih terjangkau ketimbang buatan luar. Produsen tas pun mengantongi rezeki berlimpah.

Berawal dari hobi lahirlah bisnis tas. Itulah yang dialami Tomi Sugianto. Awalnya, Tomi adalah penghobi berat naik gunung. Tak terhitung sudah berapa banyak puncak gunung berhasil ia daki. Salah satu kebutuhan utama untuk mendaki gunung adalah tas.

Tomi bercerita, sekitar 10 tahun yang lalu, tas gunung dengan merek-merek luar negeri menjadi incarannya. Utamanya produk dari Amerika dan Jerman. Kerap memakai tas-tas impor membersitkan ide Tomi untuk membuat tas untuk kebutuhan naik gunung. Setelah melakukan pengamatan, ia yakin bisa membuat tas sejenis. Ia pun lantas mencari bahan-bahan dengan kualitas bagus untuk membuat tas. Pilihannya adalah kodurai dan polyester.

Setelah beberapa kali mencoba, Tomi berhasil membuat tas yang kuat sekaligus nyaman kala dipanggul. Ia pun lantas memasang merek Gravell. "Alhamdulillah, sekarang jadi andalan banyak pecinta gunung," ujarnya bangga.

Untuk memenangkan pasar, ia harus mementingkan kualitas. Kualitas ini bisa diukur dari daya tahan serta kekuatan tas mengangkat beban barang bawaan. "Desain menjadi urusan selanjutnya," ujarnya.

Agar mendapat tempat di kalangan pecinta kegiatan mendaki gunung, Tomi menyasar komunitas-komunitas pecinta alam. Ini terbilang mudah karena Tomi tergabung di dalamnya. Dari mulut ke mulut, Tomi juga memasarkan tas bikinannya di kampus-kampus.

Berbeda dengan dulu, tas untuk kegiatan outdoor bikinan pengusaha lokal semakin diminati pasar. "Selain harganya lebih murah, kualitasnya kian bagus," ujar Tomi yang mampu memproduksi hingga 300 tas gunung dengan berbagai ukuran saban bulan.

Tas terkecil memiliki tinggi 60 cm. Adapun paling besar ukurannya 100 liter atau tingginya setara 1 meter. Harganya mulai dari Rp 225.000 hingga Rp 550.000.

Pada hari biasa, Tomi mampu meraih pendapatan hingga Rp 80 juta per bulan. Saat musim-musim pendakian seperti bulan Juli hingga akhir tahun, "Penjualannya bisa dua kali lipat," ujarnya.

Donny Kurniawan, pemilik toko tas dan perlengkapan hiking Rinjani Raya menambahkan, tahun 2000 adalah momentum tas gunung buatan lokal. Kini, dengan merek Redman, ia bisa menjual tas hingga 150 tas per bulannya.

Ada empat tas buatan Donny, yakni Redman Walker 40 liter dengan harga Rp 160.000, Redman X-Over 60 liter dengan harga Rp 265.000, Redman Light 80 liter Rp 365.000 dan Redman X-File 80 liter Rp 335.000. Dari situ, Donny mampu mengantongi omzet hingga Rp 50 juta per bulan.

Dari berbagai model, tas Redman X-Over 60 liter menjadi item terlaris. "Model itu mendominasi 40% dari total penjualan," ujar pria yang sudah bergelut dalam bisnis tas sejak 1999. Pelanggannya kebanyakan berasal dari mahasiswa, pencinta alam, dan klub hiking.

Saat libur panjang yang biasanya jatuh pada pertengahan tahun menjadi saatnya mendulang rezeki. "Penjualan bisa naik sampai 30%," ujarnya. Musim libur banyak orang naik gunung untuk menghilangkan penat.

Donny yakin, bisnis tas untuk kegiatan outdoor ke depan masih sangat menjanjikan. Mengingat Indonesia termasuk negara yang kaya akan gunung. Ini bisa menjadi daya tarik bagi pendaki asing sekaligus lokal. Selain itu, pasar tas untuk kegiatan outdoor juga luas. Tak hanya diminati pecinta gunung tapi pecinta alam dengan aktivitas lain.

Namun, agar bisa bertahan di pasar, kualitas harus dijaga. Selain masih banyaknya produk-produk asing, produk-produk lokal juga terus muncul. "Itu menjadi tantangan kami," ujar Donny yang menggunakan polyester dalam pembuatan tasnya.

Dibantu lima karyawan, Donny kini memiliki tiga cabang, yakni di Bandung, Semarang, dan Yogyakarta. Adapun kantor pusatnya tetap ada di Jakarta.

Sumber artikel dari kontan online di link ini.

Dinny, aktivis perempuan pelopor gerakan ekonomi kaum perempuan

Era reformasi telah berlangsung selama 13 tahun, namun masih menyisakan semangat pada diri Dinny Jusuf. Salah satu aktivis perempuan ini tergerak mendirikan Suara Ibu Peduli, koperasi simpan-pinjam di daerah miskin di Jakarta. Tak berhenti di situ, ia juga membangun usaha Toraja Melo untuk mengangkat pamor kain tenun Toraja.

Berawal dari aktivitasnya sebagai pejuang hak-hak perempuan sejak tahun 1998, Dinny Jusuf bersama dengan Karlina Supeli membangun organisasi Suara Ibu Peduli. Organisasi itu mulai dirintis, tepatnya, ketika ada kenaikan harga susu yang meresahkan banyak ibu-ibu.

Tak hanya turun ke jalan dan berdemonstrasi, bersama aktivis perempuan lainnya, Dini juga memberikan pendidikan politik. "Tapi, ini tak berlangsung lama," kenang Dinny. Pendidikan politik, kata Dinny, tak banyak bermanfaat bagi perempuan yang memiliki tugas utama di rumah.

Pengalamannya yang sempat bekerja untuk Women's World Banking untuk urusan mikrokredit di Indonesia, mendorong Dinny mengalihkan kegiatan organisasi pada dunia ekonomi. Ia ingin memberi modal kepada perempuan-perempuan yang ingin memulai usaha.

Rupanya, Dinny terinspirasi oleh Mursia Zaafril Ilyas, seorang penggiat koperasi perempuan di Malang. "Saya terkesan dengan beliau yang mampu merangkul perempuan-perempuan Indonesia lewat koperasi," terang wanita yang hobi travelling di Indonesia ini.

Lantas, ia pun membangun koperasi simpan pinjam di Suara Ibu Peduli. Tak sekadar mendorong berdirinya koperasi simpan pinjam, Dinny juga mendampingi anggota dari Suara Ibu Peduli untuk belajar soal teknologi hingga memperkenalkan sebuah sistem kerja bagi perempuan-perempuan di organisasi itu. "Adanya sistem akan membuat mereka menjadi sosok yang profesional, jujur, tertib dan disiplin," papar Dinny.

Pendidikan ini ternyata mampu menggugah para perempuan di Suara Ibu Peduli menjadi mandiri. Kiprah anggota organisasi itu juga tak hanya di kandang, tapi juga telah dikenal masyarakat luas. "Banyak dari anggota kami yang telah menjadi pengajar dan pembicara di berbagai seminar dan penulis di media massa," ujar Dinny.

Kini, suara Ibu Peduli telah memiliki 600 anggota yang tersebar dalam 14 cabang di daerah miskin seputar Jakarta. Setelah 13 tahun berlalu, Suara Ibu Peduli pun menghadapi tantangan yang berbeda. "Maklum, dulu, belum banyak bank yang menawarkan kredit usaha kepada perempuan-perempuan, tapi sekarang telah menjamur dimana-mana," papar wanita yang kini menjadi anggota Dewan Penasihat Suara Ibu Peduli.

Pada tahun 2008, Dinny melepas Suara Ibu Peduli. Ia ingin menikmati hari tuanya di Toraja, Sulawesi Selatan yang menjadi kampung halaman sang suami.

Di tengah hari-hari menikmati masa pensiun, Dinny justru tergerak ketika melihat tenun-tenun Toraja. "Saya melihat kain tenun Toraja yang indah tidak mendapat penghargaan tinggi," katanya.

Ia melihat banyak kain tenun yang tergeletak begitu saja dan tak banyak perempuan Toraja yang terlihat menggunakan tenun sebagai pakaian mereka sehari-hari. "Kain tenun Toraja hanya dipakai saat melangsungkan upacara adat," ungkap Dinny. Kondisi ini menggugah jiwa Dinny untuk membuat sesuatu lewat kain tenun Toraja.

Sayang, ketika pertama kali memulainya, Dinny tak mendapat dukungan dari sang suami dan penduduk sekitar. "Bahkan, saya sempat diledek gila," katanya sambil tertawa.

Namun, Dinny tak berkecil hati. Niatnya sudah mantap untuk membawa tenun Toraja sebagai salah satu bahan pakaian yang kasual dan modern hingga mendapat banyak penggemar dari masyarakat Indonesia. Lantas, ia pun mendirikan usaha tenun kain Toraja bernama Toraja Melo yang berarti Toraja Indah.

Dinny menyadari kain tenun adalah bagian dari akar budaya tanah air yang perlu dibanggakan. Ia pun membidik pasar kaum menengah atas yang juga pecinta merek-merek dari luar negeri, sambil berharap mereka kembali mencintai produk dari dalam negeri.

Toraja Melo membuat berbagai produk dari tenun Toraja seperti, tas, gaun, sepatu hingga sandal dengan model yang mengikuti tren saat ini. Dinny menggandeng Dina Middiana, perancang busana, untuk menonjolkan karakter kain tenun Toraja yang feminin sekaligus maskulin.

Jiwa sosial Dinny pun kembali muncul, ketika melihat kondisi perempuan di sekitar rumahnya di Toraja. Peranan perempuan terbilang kompleks, yang dituntut menjadi seorang ibu di rumah sekaligus juga harus membantu perekonomian keluarga.

Ia pun kemudian melibatkan 100 perempuan penenun Toraja di wilayah Sa'dan, Toraja Utara. Niat Dinny tidak hanya sekedar menjadikan kain tenun Toraja kembali diproduksi dengan bagus dan massal. Mantan pegawai Citibank ini juga berharap, bisa mengangkat seni tenun Toraja. "Baik dari sisi teknik, mutu dan penggunaan kain. Bagi para perempuan penenun juga akan meningkatkan kesejahteraan mereka," ujarnya.

Usaha Dinny untuk kembali mengangkat kain tenun Toraja pun berbuah manis. Berbagai produk Toraja Melo bisa diterima pasar. Bahkan baru-baru ini, Dinny terlibat dalam acara fesyen bergengsi, yakni Jakarta Fashion and Food Festival yang digelar oleh salah satu pengembang properti ternama ibukota, akhir Mei lalu.

Tak ketinggalan, pada perhelatan itu, ia menjual produk Toraja Melo mulai dari Rp 750.000 hingga Rp 1,5 juta. Ia pun mampu mengantongi pendapatan hingga Rp 20 juta untuk setiap kali pameran berlangsung.

Sumber artikel kontan online di link ini.

Peluang Investasi Orang Kota, Peluang Usaha Orang Desa

Banyak peluang usaha yang berserakan di sekitar kita. Cerita tentang limbah jadi harta melimpah sudah banyak kita dengar. Tetapi dari sekian banyak potensi itu tulisan ini akan bicara tentang potensi luar biasa dari kelinci. Jangan dibayangkan kelinci yang dimaksud adalah kelinci kampung yang kurus-kurus dan hidup dipelihara petani secara tradisional, melainkan kelinci jenis impor yang memiliki beragam jenis tubuh; mulai yang kerdil (berbobot 7 ons) hingga kelinci jumbo (berbobot 6-8 Kg). Sekarang ini di Indonesia sudah banyak ragam jenis kelinci asing yang berkembang. Sebagian untuk piaraan (hobies) sebagaian untuk tujuan penghasil daging berkualitas.

Saking dahsyatnya potensi usaha kelinci, tak heran kalau kemudian buku ini secara khusus membicarakan perihal Investasi, Bisnis, Marketing dan Pemberdayaan. Buku setebal 188 halaman ditulis secara akurat dan detail tentang seluk beluk usaha kelinci. Dalam buku ini disebutkan, populasi kelinci dalam setiap dua bulan sekali kelahiran mampu menghasilkan 6-8 ekor. Kelinci umur 1 bulan menghasilkan 1 kg daging berkualitas dibanding daging hewan lain.

Daging kelinci memiliki kandungan proteinnya tinggi (25 %), rendah lemak (4%), dan kadar kolesterol daging juga rendah yaitu 1,39 g/kg. Kandungan lemak kelinci hanya 8%, sedangkan daging ayam, sapi, domba, dan babi masing-masing 12%, 24%, 14%, dan 21%. Kadar kolesterolnya sekitar 164 mg/100 gram daging, sedangkan ayam, sapi, domba, dan babi berkisar 220—250 mg/100 gram daging.

Maka, dengan cukup memelihara 2 ekor kelinci betina dan 1 ekor kelinci pejantan, sebuah keluarga dengan 5 penghuni sudah lebih cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar gizi. Karena itulah tak heran jika kelinci bisa menjadi solusi untuk melawan gizi buruk bangsa Indonesia .

Potensi daging kelinci dengan harga Rp 20.000 per Kg adalah harga ideal. Dengan harga itu kelinci meninggalkan penghasilan jauh dari ternak hewan lain, seperti domba dan sapi karena populasinya yang cepat (2 bulan sekali beranak) dan biaya pakan rendah serta ramah lingkungan. Kalau hendak menegak untung luar biasa hingga mencapai 4 kali lipat dari penghasil pedaging, kita bisa beternak kelinci untuk tujuan hias,-hanya saja -memiliki resiko instabilitas pada pemasaran.  Di luar tubuhnya kelinci memiliki sejumlah aset luar biasa, pada bulu dan kotoran (pupuk organik) yang sangat berkualitas untuk menyuburkan tanaman, terutama tanaman sayuran, buah dan tanaman hias.

Marketing dan Investasi

Marketing kelinci tergolong unik karena tantangannya bukanlah persaingan, melainkan pembukaan pasar. Pasar kelinci tidak sulit.  Melalui pendekatan yang khas, buku ini membuka mata kita untuk memudahkan meraih peluang pasar. Pasar bisa dibuka di mana saja, dengan mudah dan murah. Trik-trik dagang modern yang manusiawi dijelaskan secara baik dan detail dalam buku ini.

Memang tidak semua orang bisa melakuan ternak kelinci. Solusinya adalah investasi bagi hasil kepada peternak handal. Investasi kelinci bisa dilakukan dengan modal kecil dan besar. Atau jika hendak memakai paradigma pemberdayaan, para investor dengan modal Rp 700.000.  ternak kelinci sangat cocok untuk penguatan ekonomi rakyat. Seandainya kita hendak mengembangkan secara massal, bisa dilakukan kepada para petani di desa. Ini adalah peluang bisnis sekaligus investasi sosial bagi orang kota untuk memajukan perekonomian petani atau kaum santri di desa-desa.

Kandang kelinci bisa dibuat sendiri dari bahan setempat atau barang-barang sisa. Ukuran kandang untuk masing-masing bibit kelinci cukup 70 X 100 cm. Untuk tiap kelompok anak kelinci dari induk cukup 70 X 70  cm.  Jelaslah di sini, pekarangan yang diperlukan tidaklah besar.

Kalau sudah demikian potensial mengapa belum banyak yang ternak kelinci?

Buku ini memberikan jawaban, bahwa masyarakat kita sudah jauh dari "ideologi" beternak maupun bertani. Kebanyakan orang sudah bosan menyandang predikat petani/peternak. Kedua, tidak memiliki lahan dan sarana pendukung, seperti pasokan rumput, pengelolaan pakan dan lain sebagainya. Masalah pertama adalah faktor budaya. Ini adalah masalah mentalitas bangsa secara umum di mana kalangan muda kita lebih dengan gaji pragmatis ketimbang menjadi entrepreneur, terutama di bidang peternakan atau pertanian. Kedua, hanya soal teknis. Sangat bisa diatasi dengan mengenal seluk-beluk ternak kelinci secara mendalam.

Membuka mata lebar-lebar atas setiap potensi adalah cara terbaik bagi kita dan orang-orang di sekitar kita untuk meraih kemajuan. Buku ini sangat baik bagi siapa saja, mereka para petani desa, peternak, pelaku agribisnis dan calon investor yang berminat mengembangkan uangnya beranak pinak secepat populasi kelinci.

Tulisan oleh Makmun Yusuf. Peminat Buku-Buku Kajian Bisnis dan Marketing, tinggal di Yogyakarta. Tulisan ini merupakan resensi terhadap buku: Ternak Uang Bersama Kelinci, Penulis : Faiz Manshur, Penerbit: Nuansa Cendekia (Anggota IKAPI) Bandung Juli 2009. Tebal: 188 halaman, Harga: Rp 36.000.

Sumber: Kompas Online di link ini.